Eksposisi Lukas 6 : 37 - 42
EXPOSISI
Lukas 6 : 37 - 42
I) ‘Jangan menghakimi’.
1) Arti yang salah dari kata-kata ‘jangan menghakimi’.
Banyak
orang mensalah tafsirkan dan karenanya menyalah gunakan bagian ini. Mereka
beranggapan bahwa bagian ini melarang kita untuk menyalahkan orang lain,
mengecam orang lain, melakukan siasat gerejani terhadap seseorang, dan yang
paling extrim bahkan menganggap ini sebagai dasar untuk melarang adanya
pengadilan.
Apa
alasannya untuk mengatakan bahwa ini merupakan penafsiran dan penggunaan yang
salah dari bagian ini?
a) Baik dalam Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru, pengadilan bukan hanya diijinkan, tetapi
diharuskan.
Ro 13:4b - “tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka
yang berbuat jahat”.
b) Yesus sendiri mengecam
dan mengutuk orang Farisi dan ahli Taurat (Luk 11:42-44 Luk 20:45-47).
c) Yoh 7:24 - “Janganlah menghakimi menurut
apa yang nampak,
tetapi hakimilah dengan adil”. Dengan kata-kata ini Yesus jelas
membolehkan kita untuk menghakimi asal kita melakukannya dengan adil, dengan memperhatikan fakta-fakta
secara keseluruhan.
d) D. Martin Lloyd Jones
mengatakan bahwa ini tidak berarti bahwa kita tidak boleh mengecam orang atau
membentuk suatu pandangan tentang orang itu. Sebagai dasar ia mengatakan bahwa
dalam Injil Matius larangan menghakimi ini (Mat 7:1-5) disusul dengan
larangan untuk memberikan barang kudus kepada anjing atau mutiara kepada babi
(Mat 7:6). Bagaimana kita bisa mentaati larangan ini kalau kita
tidak lebih dulu membentuk suatu pandangan bahwa seseorang itu adalah anjing /
babi, yang tidak layak diberi mutiara / barang yang kudus?
Juga Mat 7:15 menyuruh berhati-hati terhadap nabi-nabi palsu, dan
Mat 7:16 mengatakan bahwa dari buahnya kita mengenal pohonnya. Dan Pulpit
Commentary menambahkan adanya ayat-ayat yang menyuruh kita menguji segala
sesuatu / pengajar-pengajar, seperti:
·
1Tes 5:21 - “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik”.
·
1Yoh 4:1-3 - “Saudara-saudaraku
yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari
Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu
yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia. Demikianlah kita mengenal Roh
Allah: setiap roh yang mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai
manusia, berasal dari Allah, dan setiap roh, yang tidak mengaku Yesus, tidak
berasal dari Allah. Roh itu adalah roh antikristus dan tentang dia telah kamu
dengar, bahwa ia akan datang dan sekarang ini ia sudah ada di dalam dunia”.
Kalau kita tidak boleh membentuk suatu pandangan tentang
seseorang, bagaimana kita bisa mentaati perintah ini ???
Lloyd
Jones juga mempersoalkan tentang adanya perintah untuk melakukan siasat
gerejani (Mat 18:15-17
1Kor 5:1-13). Bagaimana kita bisa mentaati perintah ini kalau tidak
lebih dulu membentuk suatu pandangan tentang seseorang?
William
Hendriksen: “Luke 6:37 has been used at times as an excuse for laxity
in exercising church discipline, but in the light of its context, and also of
Matt. 18:15-18 and John 20:23, such use of this passage is without any
justification” (= Lukas 6:37 kadang-kadang
digunakan sebagai suatu alasan untuk tidak melakukan disiplin gerejani, tetapi
dalam terang dari kontexnya, dan juga dari Mat 18:15-18 dan Yoh 20:23,
penggunaan seperti itu dari text ini tidak dapat dibenarkan)
- hal 355.
Kitab
Suci juga memberikan perintah yang keras berkenaan dengan nabi-nabi palsu,
seperti:
¨
2Yoh 10-11 - “Jikalau seorang datang kepadamu dan ia tidak membawa ajaran ini,
janganlah kamu menerima dia di dalam rumahmu dan janganlah memberi salam
kepadanya. Sebab barangsiapa memberi salam kepadanya, ia mendapat bagian dalam
perbuatannya yang jahat”.
¨
Tit 3:10 - “Seorang bidat yang sudah satu dua kali kaunasihati, hendaklah engkau
jauhi”.
Bagaimana bisa melaksanakan hal ini kalau kita tidak lebih dulu
membentuk pandangan bahwa seseorang itu memang adalah nabi palsu ???
Lloyd
Jones juga mengatakan bahwa orang yang tidak senang dengan doktrin, biasanya
selalu menganggap orang yang menganggap sesat seorang nabi palsu, sebagai
menghakimi. Mengapa? Karena ia sendiri tidak senang dengan doktrin, maka ia
tidak bisa mengerti mengapa hal seperti itu dipersoalkan. Ia tidak bisa
mengerti mengapa seseorang begitu keras berpegang pada doktrin itu, dan
menyalahkan doktrin lain, yang menurut pandangannya tidak terlalu berbeda.
Contoh tentang Allah Tritunggal, bagaimana Athanasius berpegang pada doktrin
yang benar, dan menolak setiap kompromi dari pihak Arianism ataupun
Semi-Arianism, yang di mata seorang yang tidak senang doktrin, tidak terlalu
berbeda.
D.
Martin Lloyd Jones: “people who object to doctrine
are generally those who are guilty at this particular point. Because they do
not have a grasp and understanding of doctrine they can talk only in terms of
personalities; so the moment a man
stands for principles or doctrine, they begin to say that he is a difficult person” (= orang-orang yang tidak menyenangi doktrin
biasanya adalah mereka yang bersalah pada titik ini. Karena mereka tidak mempunyai pengertian tentang doktrin mereka
hanya bisa berbicara dalam persoalan tentang kepribadian;
sehingga pada saat seseorang mempertahankan suatu
prinrip atau doktrin, mereka
mulai berkata bahwa orang itu adalah orang yang sukar dipuaskan / disenangkan)
- ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 168.
Bertentangan
dengan banyak orang jaman sekarang yang menganggap bahwa kita sama sekali
dilarang untuk menghakimi, hampir semua penafsir mengatakan bahwa kita harus
menghakimi!
Pulpit
Commentary: “Things must be judged by us; new doctrines, new
institutions, new methods of worship and of work, come up for our support or
our condemnation, and we must judge them, by reason, by conscience, by
Scripture, that we may know what course we are to pursue” (= Banyak hal
yang harus kita hakimi; doktrin-doktrin yang baru, lembaga-lembaga /
kebiasaan-kebiasaan yang baru, metode-metode yang baru tentang ibadah /
penyembahan dan pekerjaan, muncul untuk kita dukung atau kita kecam, dan kita
harus menghakimi hal-hal itu, dengan akal, dengan hati nurani, dengan Kitab
Suci, sehingga kita tahu jalan mana yang harus kita ikuti) - hal 159.
Catatan:
saya tak terlalu setuju dengan penghakiman
berdasarkan akal dan hati nurani, karena baik akal maupun hati
nurani kita sudah dikotori oleh dosa sehingga tidak bisa dijadikan standard. Penghakiman harus dilakukan berdasarkan Kitab Suci.
Pulpit
Commentary: “Men must be judged by us also. We have to decide whether
we will give them our confidence, our friendship; whether we will admit them
into the family circle, into the society, into the Church. To decline to judge men is to neglect one of the most serious duties
and most weighty obligation of our life”
(= Kita juga harus menghakimi manusia. Kita harus memutuskan apakah kita akan
memberikan mereka kepercayaan kita, persahabatan kita; apakah kita akan
menerima mereka ke dalam lingkungan keluarga, ke dalam masyarakat, ke dalam
Gereja. Menolak untuk menghakimi manusia berarti mengabaikan
salah satu kewajiban yang paling serius dan penting dari hidup kita)
- hal 159.
Calvin:
“this passage is altogether misapplied by those persons who would desire
to make that moderation, which Christ recommends, a pretence for setting aside
all distinction between good and evil. We are not only permitted, but are even bound, to condemn all sins;
unless we choose to rebel against God himself,
- nay, to repeal his laws, to reverse his decisions, and to overturn his
judgment-seat. It is his will that we should proclaim the sentence which he
pronounces on the actions of men: only we must preserve such modesty towards
each other, as to make it manifest that he is the only Lawgiver and Judge, (Isa
33:22)” [= text ini disalahgunakan oleh orang-orang yang ingin membuat
penghakiman terbatas / tak berlebihan yang dinasehatkan Kristus sebagai suatu
alasan untuk menyingkirkan semua perbedaan antara baik dan jahat. Kita bukan hanya diijinkan, tetapi bahkan diharuskan, untuk mengecam
semua dosa; kecuali kita memilih untuk memberontak terhadap Allah sendiri,
- tidak, mencabut hukum-hukumNya, membalik keputusan-keputusanNya, dan membalik
takhta penghakimanNya. Merupakan kehendakNya bahwa kita menyatakan hukuman yang
Ia umumkan terhadap tindakan-tindakan manusia: hanya kita harus menjaga
kerendahan hati satu terhadap yang lain, sehingga menjadi nyata bahwa Ia adalah
satu-satunya Pemberi hukum dan Hakim (Yes 33:22)]
- hal 346-347.
2) Arti yang benar dari
kata-kata ‘jangan menghakimi’.
Larangan
menghakimi ini kelihatannya ditujukan kepada para ahli Taurat dan orang Farisi,
dan / atau orang-orang yang segolongan dengan mereka, yang:
a) Menganggap diri sendiri
benar.
b) Terlalu gampang dan cepat
menyalahkan orang lain (tanpa mengetahui seluruh persoalannya lebih dulu). Bdk.
Yoh 7:24 - “Janganlah
menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil”.
c) Mengecam tanpa kasih /
belas kasihan. Bandingkan dengan Yohanes dan Yakobus yang ingin menurunkan api
dari langit ke atas orang-orang Samaria (Luk 9:51-56). Pulpit Commentary
(hal 159) mengatakan bahwa penghakiman seperti ini mempunyai kecenderungan
untuk menghancurkan dari pada memperbaiki.
d) Membesar-besarkan
kesalahan orang lain.
e) Merasa senang pada saat
bisa menemukan dan mengecam kesalahan orang lain.
D.
Martin Lloyd Jones memberi contoh penghakiman yang dimaksud oleh Yesus, yaitu
orang Farisi yang berdoa di Bait Suci yang berkata: “Ya Allah, aku mengucap syukur kepadaMu, karena aku
tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan
pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini” (Luk 18:11).
Di
belakang penghakiman yang salah ada ‘self-righteous spirit’ (= roh yang
anggap diri sendiri benar). Karena itu Yesus menambahkan Mat 7:3-5 / Luk
6:41-42.
D.
Martin Lloyd Jones: “What is this spirit that condemns? It is a self-righteous
spirit. Self is always at the back of it, and it is always a manifestation of
self-righteousness, a feeling of superiority, and a feeling that we are all
right while others are not. That then leads to censoriousness, and a spirit
that is always ready to express itself in a derogatory manner. And then,
accompanying that, there is the tendency to despise others, to regard them with
contempt. I am not only describing the Pharisees, I am describing all who have
the spirit of the Pharisee” (= Apakah roh yang menghukum ini? Itu adalah
roh yang merasa dirinya sendiri benar. Diri sendiri / si aku selalu ada di
belakangnya, dan itu selalu merupakan manifestasi dari perasaan bahwa dirinya
sendiri benar, suatu perasaan superior / lebih tinggi, dan suatu perasaan bahwa
kita benar sementara orang lain tidak. Itu lalu membawa kepada sikap suka
mengkritik, dan suatu roh / semangat yang selalu siap untuk menyatakan dirinya
sendiri dengan cara yang merendahkan orang lain. Dan lalu, bersama-sama dengan
itu, di sana ada kecenderungan untuk menghina orang lain, memandang orang lain
dengan jijik. Saya bukan hanya menggambarkan orang Farisi, saya menggambarkan
semua yang mempunyai roh orang Farisi) - ‘Studies in the Sermon on the
Mount’, hal 167.
Ia
lalu menambahkan: “a very vital part of this spirit is the tendency to be
hypercritical. Now there is all the difference in the world between being
critical and being hypercritical. ... The man who is guilty of judging, in the
sense in which our Lord uses the term here, is the man who is hypercritical,
which means that he delights in criticism for its own sake and enjoys it. I am
afraid I must go further and say that he is a man who approaches anything which
he is asked to criticize expecting to find faults, indeed, almost hoping to
find them. ... Love ‘hopeth all things’, but this spirit hopes for the worst;
it gets a malicious, malign satisfaction in finding faults and blemishes”
(= suatu bagian vital dari roh ini adalah kecenderungan untuk menjadi terlalu
kritis. Ada perbedaan yang sangat besar antara kritis dan terlalu kritis. ...
Orang yang dipersalahkan tentang penghakiman, dalam arti yang digunakan oleh
Tuhan kita di sini, adalah orang yang terlalu kritis, yang berarti bahwa ia
menyenangi kritik demi kritik itu sendiri dan menikmatinya. Saya harus
meneruskan dan berkata bahwa ia adalah orang yang mendekati segala sesuatu,
untuk mana ia diminta untuk mengkritik, sambil mengharapkan bahwa ia akan
menemukan kesalahan-kesalahan. ... Kasih ‘mengharapkan segala sesuatu’, tetapi
roh ini mengharapkan yang terburuk; ia mendapatkan kepuasan yang jahat dan
membahayakan dalam menemukan kesalahan-kesalahan dan cacat-cacat) - ‘Studies
in the Sermon on the Mount’, hal 167.
D.
Martin Lloyd Jones: “If ever we know the feeling of being rather pleased when
we hear something unpleasant about another, that is this wrong spirit. If we
are jealous, or envious, and then suddenly hear that the one of whom we are
jealous or envious has made a mistake and find that there is an immediate sense of pleasure within us,
that is it”
(= Jika kita pernah mengetahui perasaan senang pada waktu kita mendengar
sesuatu yang tidak menyenangkan tentang orang lain, maka inilah roh yang salah
itu. Jika kita cemburu atau iri hati, dan lalu tiba-tiba kita mendengar bahwa
orang terhadap siapa kita cemburu atau iri hati itu telah membuat kesalahan dan
kita mendapatkan bahwa di dalam diri kita langsung
ada perasaan gembira, maka itulah roh itu)
- ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 168.
3) Alasan untuk tidak
menghakimi.
Catatan:
tentu saja yang saya maksud dengan ‘tidak
menghakimi’ di sini adalah ‘tidak
menghakimi secara salah’.
a) Kita sendiri mempunyai
banyak kesalahan, bahkan mungkin kesalahan yang lebih besar (ay 41-42).
Bandingkan dengan Ro 2:1-3 - “Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang
lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang
lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang
lain, melakukan hal-hal yang sama. Tetapi kita tahu, bahwa hukuman Allah
berlangsung secara jujur atas mereka yang berbuat demikian. Dan engkau, hai
manusia, engkau yang menghakimi mereka yang berbuat demikian, sedangkan engkau
sendiri melakukannya juga, adakah engkau sangka, bahwa engkau akan luput dari
hukuman Allah?”.
b) ‘Tidak
menghakimi’ merupakan ciri seorang murid /
kristen yang sejati.
Leon
Morris (Tyndale) membahas kata-kata ‘ampunilah dan kamu akan diampuni’ dan ia lalu berkata: “It
is the man with the forgiving attitude who is forgiven. This is not salvation
by merit: rather the thought is that the true disciple is not judgmental. When
God accepts a man God’s grace changes him. A forgiving spirit is evidence that
the man has been forgiven” (= Orang yang mempunyai sikap mengampunilah yang
diampuni. Ini bukan keselamatan karena kebaikan: tetapi pemikirannya adalah
bahwa murid yang sejati tidak bersifat menghakimi. Pada waktu Allah menerima
seseorang, kasih karunia Allah mengubahnya. Roh yang mengampuni merupakan bukti
bahwa orang itu telah diampuni) - hal 132.
c) Orang yang menghakimi /
menghukum akan dihakimi / dihukum. Balasan ini datang dari manusia dan dari
Allah.
Ada
orang yang keberatan terhadap kata ‘dihakimi / dihukum’, karena mereka
berpendapat bahwa orang kristen tidak bisa dihakimi / dihukum. Untuk menjawab
ini maka Lloyd Jones mengatakan bahwa ada 3 macam
penghakiman dari Allah kepada kita:
1. Penghakiman akhir jaman
yang menentukan kita masuk surga atau neraka.
Orang
kristen yang sejati pasti lulus dalam penghakiman ini. Penebusan Kristus
membuat mereka pasti diampuni dan masuk surga.
Tetapi masih ada 2 penghakiman lain, yang mempengaruhi orang Kristen
!!!
2. Penghakiman / penghukuman
dalam arti menghajar. Bandingkan dengan:
·
1Kor 11:27-32 - “Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan
Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah
tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan
minum dari cawan itu. Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh
Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas
dirinya. Sebab itu banyak di antara kamu yang lemah
dan sakit, dan tidak sedikit yang meninggal. Kalau kita menguji diri kita
sendiri, hukuman tidak menimpa kita. Tetapi kalau kita menerima hukuman dari Tuhan, kita
dididik, supaya kita tidak akan dihukum bersama-sama dengan dunia”.
Kata ‘kita dididik’ oleh NASB diterjemahkan ‘we are disciplined’ (= kita didisiplin).
·
Ibr 12:5-11 - “Dan sudah
lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak:
‘Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa
apabila engkau diperingatkanNya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihiNya,
dan Ia menyesah orang yang diakuiNya sebagai anak.’ Jika kamu harus menanggung
ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang
tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang
harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang.
Selanjutnya: dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka
kita hormati; kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala
roh, supaya kita boleh hidup? Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang
pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan
kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusanNya. Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia
diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia
menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih
olehnya”.
3. Penghakiman untuk
menentukan pahala.
Ro 14:10,12
- “Tetapi engkau, mengapakah
engkau menghakimi saudaramu? Atau mengapakah engkau menghina saudaramu? Sebab
kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah. ... Demikianlah setiap
orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri
kepada Allah”.
2Kor 5:10 - “Sebab kita semua harus
menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan
yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat”.
D.
Martin Lloyd Jones lalu menyimpulkan: “Though we are Christians,
and are justified by faith, and have an assurance of our salvation, and know we
are going to heaven, we are yet subject
to this judgment here in this life, and also after this life”
(= Sekalipun kita adalah orang-orang Kristen, dan dibenarkan oleh iman, dan
mempunyai keyakinan keselamatan, dan tahu bahwa kita akan pergi ke surga, tetapi kita menjadi sasaran penghakiman ini di sini dalam
kehidupan ini, dan juga setelah kehidupan ini)
- ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 176.
d) Penghakiman yang kita
lakukan akan menjadi standard penghakiman terhadap diri kita sendiri
(ay 38b: ‘Sebab ukuran yang
kamu pakai untuk mengukur,
akan diukurkan kepadamu’).
D. Martin Lloyd Jones: “The
second reason for not judging
is that, by so doing, we are not only produce judgment for ourselves, we even set the standard of our own
judgment” (= Alasan kedua untuk tidak menghakimi adalah bahwa dengan melakukan itu kita
bukan hanya menghasilkan penghakiman terhadap diri kita sendiri, tetapi kita bahkan menetapkan standard
penghakiman kita sendiri) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’,
hal 176.
Calvin
mengatakan bahwa ini berarti bahwa orang yang murah hati akan diperlakukan
dengan murah hati. Tetapi Calvin juga mengingat-kan bahwa juga sering terjadi
bahwa orang kristen yang murah hati justru diperlakukan dengan jelek, difitnah
dan sebagainya. Kalau ini terjadi maka harus dingat 2 hal:
·
tidak ada orang kristen yang bisa melakukan semua ini dengan
sempurna. Semua orang pernah melakukan penghakiman yang salah, sehingga kalau
mereka mengalami penghakiman yang salah, mereka tetap layak mendapatkannya.
·
suatu saat Tuhan akan memunculkan kebenaran mereka.
4) Mengoreksi diri sendiri
sebelum menghakimi (ay 41-42).
William
Barclay: “He taught that we have no right to critisize unless we
ourselves are free from faults. That simply means that we have no right to
critisize at all” (= Ia mengajar bahwa kita tidak berhak untuk mengkritik
kecuali kita sendiri bebas dari kesalahan. Itu berarti bahwa kita tidak boleh mengkritik
sama sekali) - hal 81. Ini ngawur dan
bertentangan dengan 2Tim 4:2 dan banyak ayat Kitab Suci lain.
William
Hendriksen: “It is clear from the last clause, in which mention is
made of removing the speck from the brother’s eye, that it was not Christ’s
purpose to discourage mutual discipline. On the contrary, both self-discipline and mutual discipline are
encouraged in this saying” (= Dari anak kalimat yang
terakhir dimana disebutkan tentang mengeluarkan selumbar dari mata saudara,
adalah jelas bahwa bukan tujuan Kristus untuk tidak saling melakukan
pendisiplinan. Sebaliknya, baik ‘pendisiplinan diri sendiri’ maupun
‘saling melakukan pendisiplinan’ dianjurkan dalam kata-kata ini)
- hal 362.
William
Hendriksen: “‘First take the beam out of your own eye.’ The basic
requirement for the exercise of mutual discipline is self-discipline” (=
‘Pertama-tama keluarkan balok dari matamu sendiri’. Syarat utama untuk saling
melakukan pendisiplinan adalah pendisiplinan diri sendiri) - hal 364.
Penerapan:
saudara mengkritik orang yang melayani Tuhan. Ini salah, itu salah dan
sebagainya. Sementara itu saudara sendiri tidak punya pelayanan. Atau saudara
mengkritik orang yang berkhotbah. Kurang ini kurang itu dan sebagainya.
Sementara itu, jangankan berkhotbah, mengajar Sekolah
Minggu atau menjadi pemimpin liturgis saja saudara tidak mau… ????
Comments
Post a Comment